Sejarah Polio: Wabah Mematikan, Vaksinasi, dan Ancaman di Masa Depan - Nationalgeographic

 

Sejarah Polio: Wabah Mematikan, Vaksinasi, dan Ancaman di Masa Depan

Nationalgeographic.co.id—Polio, penyakit yang menyerang saraf dan dapat menyebabkan kelumpuhan, pernah menjadi momok menakutkan bagi manusia. Di masa lalu, virus ini merenggut kemampuan berjalan dan bahkan hidup anak-anak.

Namun, secercah harapan muncul dengan ditemukannya vaksin polio. Vaksinasi massal di berbagai negara terbukti efektif dalam menekan angka kasus polio secara signifikan.

Meskipun begitu, perjalanan menuju dunia bebas polio masih panjang. Munculnya virus polio yang berasal dari vaksin (cVDPV) menjadi tantangan baru yang harus dihadapi.

Artikel ini akan mengupas sejarah polio, mulai dari awal mula kemunculannya, dampak yang ditimbulkannya, hingga kisah sukses vaksinasi dan tantangan yang dihadapi saat ini.

Wabah melanda, obat pun tiada

Jejak penyakit ini telah terukir sejak era prasejarah, dibuktikan dengan gambaran anak-anak Mesir Kuno yang berjalan dengan tongkat dan anggota tubuh yang layu.

Meski telah memengaruhi anak-anak di seluruh dunia selama berabad-abad, baru pada tahun 1789 polio mendapat deskripsi klinis pertamanya oleh dokter Inggris Michael Underwood. Pengakuan resmi sebagai suatu kondisi medis baru hadir di tahun 1840, atas kontribusi dokter Jerman Jakob Heine.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, seperti dilansir dari laman WHOpolio menjelma menjadi momok menakutkan yang melanda dunia. Wabah penyakit ini kerap terjadi, membawa kengerian dan duka bagi banyak orang.

Kota New York menjadi saksi bisu salah satu wabah terdahsyat pada tahun 1916, yang menelan lebih dari 2.000 korban jiwa. Rekor terburuk di Amerika Serikat pun tercatat di tahun 1952, dengan angka kematian mencapai lebih dari 3.000 orang.

Bagi para penyintas polio, bayang-bayang penyakit ini tak berhenti di situ. Banyak dari mereka harus menerima kenyataan pahit dengan kondisi permanen.

Anggota tubuh yang cacat akibat polio memaksa mereka untuk bergantung pada penyangga kaki, kruk, atau kursi roda. Beberapa bahkan membutuhkan alat bantu pernapasan seperti paru-paru besi, sebuah respirator buatan yang diciptakan khusus untuk pasien polio.

Baca Juga: Epidemiolog Setuju PPKM Dicabut, KLB Polio dan Campak Kini Jadi PR

Menjelang pertengahan abad ke-20, virus polio telah menyebar bagai api ke seluruh penjuru dunia. Jutaan orang terpapar, dan lebih dari setengah juta orang meninggal atau lumpuh setiap tahunnya.

Ketiadaan obat dan wabah yang terus meningkat memicu kepanikan dan rasa putus asa. Di tengah situasi genting ini, kebutuhan akan vaksin menjadi bagaikan harapan untuk menyelamatkan umat manusia dari cengkeraman polio.

Secercah harapan di tengah keputusasaan

Di tengah situasi mencekam akibat wabah polio yang tak terkendali, secercah harapan muncul pada tahun 1949.

John Enders, Thomas Weller, dan Frederick Robbins di Rumah Sakit Anak Boston menorehkan sejarah dengan penemuan krusial: mereka berhasil menumbuhkan virus polio dalam jaringan manusia. Kemajuan gemilang ini mengantarkan mereka pada penghargaan Nobel di tahun 1954.

Tak berselang lama, di awal era 1950-an, hadirlah sosok Jonas Salk, seorang dokter dari Amerika Serikat yang membawa kabar gembira. Ia berhasil menciptakan vaksin polio pertama yang menjanjikan.

Salk tak ragu untuk menguji coba vaksin virus yang dilemahkan (killed-virus vaccine) pada dirinya sendiri dan keluarganya di tahun 1953. Setahun kemudian, uji coba skala besar dilakukan pada 1,6 juta anak di berbagai negara.

Pada tanggal 12 April 1955, hasil yang ditunggu-tunggu pun diumumkan. Dunia menyambut antusias terobosan luar biasa ini. Vaksin polio yang tidak aktif (inactivated polio vaccine, IPV) buatan Salk resmi mendapatkan lisensi.

Efektivitasnya terbukti luar biasa. Dalam waktu singkat, jumlah kasus tahunan polio anjlok drastis. Hanya dalam kurun waktu dua tahun, dari 58.000 kasus di tahun 1957, jumlahnya turun menjadi 5.600 kasus. Di tahun 1961, angka tersebut kian menurun drastis, dengan hanya tersisa 161 kasus.

Semangat kemanusiaan Salk tak berhenti di situ. Ia berkomitmen untuk memastikan akses yang adil terhadap vaksin ciptaannya. Ia memahami bahwa kunci pemberantasan polio terletak pada vaksinasi universal dengan biaya rendah atau gratis.

Enam perusahaan farmasi diberi lisensi untuk memproduksi IPV, dan Salk sendiri dengan mulia menolak mengambil keuntungan dari penemuannya.

Baca Juga: Para Ahli Ungkap Upaya Pemberian Vaksin Polio di Afganistan Saat Ini

Ketika ditanya tentang paten IPV dalam sebuah wawancara di tahun 1955, Salk memberikan jawaban yang mencerminkan kebijaksanaannya, "Yah, bisa dikatakan milik semua orang. Tidak ada paten untuknya. Bisakah Anda mematenkan matahari?".

Alternatif menjanjikan dari Sabin

Di tengah gempuran kesuksesan vaksin Salk pada akhir 1950-an, hadirlah sosok Albert Sabin, seorang dokter dan ahli mikrobiologi yang menawarkan alternatif lain.

Pada tahun 1950, Sabin telah mengembangkan vaksin polio oral (OPV) yang menggunakan virus yang dilemahkan (live-attenuated) dan dapat diberikan secara oral, berupa tetes atau di atas gula.

Jauh sebelum Sabin, Hilary Koprowski telah melakukan uji coba pertama vaksin live-attenuated pada manusia di tahun 1950. Uji coba lanjutan kemudian dilakukan di wilayah yang saat ini sebagian besar menjadi Republik Demokratik Kongo (dulu dikenal sebagai Belgian Congo).

Albert Sabin (kanan) bersama Robert Gallo, sekitar tahun 1985.

Unknown author

Albert Sabin (kanan) bersama Robert Gallo, sekitar tahun 1985.

Sama seperti Salk, Sabin tak ragu untuk menguji coba vaksin eksperimentalnya pada diri sendiri dan keluarganya. Namun, untuk uji coba skala besar, ia harus mencari tempat lain.

Kesempatan itu datang pada tahun 1956. Tim ahli virus dari Rusia mengunjungi laboratorium Sabin. Di akhir tahun itu, Sabin pun melakukan perjalanan ke Leningrad dan Moskow untuk menjalin kerjasama dengan mereka.

Di sana, Sabin bersinergi dengan Mikhail P Chumakov, yang juga bertanggung jawab atas uji coba vaksin Salk di Uni Soviet. Chumakov kemudian memimpin uji coba awal vaksin live-attenuated menggunakan virus awal yang disediakan oleh Sabin.

Upaya mereka membuahkan hasil. Uji coba yang dilakukan di Uni Soviet pada 20.000 anak di tahun 1958 dan 10 juta anak di tahun 1959, serta di Cekoslovakia pada lebih dari 110.000 anak antara 1958 hingga 1959, menunjukkan bukti nyata: vaksin OPV aman dan efektif.

Temuan ini diperkuat oleh tinjauan independen dari spesialis Amerika Serikat, Dorothy Horstmann, untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Validasi ini menjadi terobosan penting di tengah situasi Perang Dingin kala itu.

Baca Juga: Ada Polio dan Cacar, Mengapa Pemberantasan COVID-19 Diutamakan?

Kemudahan pemberian vaksin oral (OPV) menjadikannya senjata ampuh dalam memerangi polio. Keunggulan ini menjadikannya pilihan ideal untuk kampanye vaksinasi massal. Hungaria menjadi negara pertama yang menggunakan OPV pada Desember 1959, diikuti Cekoslovakia pada awal 1960.

Langkah berani Cekoslovakia ini membuahkan hasil gemilang. Negara ini berhasil menjadi yang pertama di dunia yang terbebas dari polio. Keberhasilan ini tak lepas dari peran krusial OPV.

Vaksin OPV memiliki keistimewaan yang menjadikannya kunci utama dalam pemberantasan polio secara total. Vaksin Salk (IPV) memang terbukti efektif dalam melindungi individu yang divaksinasi, namun tidak mampu menghentikan penyebaran virus polio antar anak.

Di sinilah OPV menunjukkan kekuatannya. Vaksin ini mampu memutus rantai penularan virus polio. Artinya, OPV tak hanya melindungi individu, tetapi juga berperan penting dalam menghentikan wabah polio secara efektif.

Upaya pemberantasan secara global

Setelah sukses memberantas cacar, Rotary International tak ingin berhenti melangkah. Pada tahun 1979, organisasi ini memulai proyek ambisius untuk memvaksinasi 6 juta anak di Filipina. Semangat ini kemudian diteruskan ke ranah global.

Pada tahun 1988, Majelis Kesehatan Dunia (WHA) mengambil langkah berani dengan mengeluarkan resolusi untuk pemberantasan polio. Tujuannya: menurunkan kasus polio secara permanen hingga nol, tanpa risiko munculnya kembali.

Di tahun yang sama, Inisiatif Eradikasi Polio Global (GPEI) pun lahir. Keputusan WHA ini tak lepas dari peran Rotary International. Mereka ingin memastikan momentum yang diraih dari pemberantasan cacar tidak hilang, dan tak ada lagi anak yang menderita kelumpuhan seumur hidup akibat polio.

Upaya ini membutuhkan kolaborasi global. Kontribusi besar dari masing-masing negara digabungkan dengan inisiatif dan bantuan internasional. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berperan penting dalam mendukung kerja sama ini.

Dengan bantuan WHO, produksi vaksin juga ditingkatkan secara global. Kapasitas produksi yang signifikan dikembangkan di negara-negara seperti India dan Indonesia. Pada tahun 1995, kampanye vaksinasi massal pun digelar di China dan India.

Gerakan untuk mencapai dunia bebas polio terus bergulir. Hari Imunisasi Nasional (National Immunization Days) diselenggarakan di 19 negara Eropa dan Mediterania pada tahun 1995, dan di 23 negara Afrika pada tahun 2004.

Baca Juga: Vaksinasi, Salah Satu Cara Selamatkan Nyawa Anak-anak di Negara Miskin

Upaya gigih ini membuahkan hasil. Pada tahun 1994, benua Amerika berhasil terbebas dari polio, disusul wilayah Pasifik Barat yang menyusul pada tahun 2000.

Prestasi demi prestasi terus diraih. Pada tahun 2003, polio hanya tersisa di 6 negara endemis. Angka ini terus menurun menjadi 4 negara di tahun 2006.

Abad ke-21 menjadi saksi kemajuan pesat dalam memerangi polio. Dalam waktu kurang dari 2 dekade, kasus polio di seluruh dunia berhasil ditekan hingga lebih dari 99%.

Wilayah Asia Tenggara WHO dinyatakan bebas polio pada tahun 2014, disusul wilayah Afrika di tahun 2020. Di wilayah Mediterania Timur, jangkauan virus berhasil dibatasi hanya ke beberapa distrik saja.

Tantangan dan Harapan Baru

Meskipun dunia telah mencapai kemajuan luar biasa dalam memerangi polio, pertempuran ini belum sepenuhnya usai. Hingga Juli 2021, secara global hanya tercatat 2 kasus virus polio liar sepanjang tahun ini. Masing-masing satu kasus ditemukan di Afghanistan dan Pakistan.

Di balik kesuksesan vaksin OPV, sebuah tantangan baru muncul. Penggunaan vaksin OPV secara terus-menerus, meskipun terbukti aman dan efektif, berpotensi menghambat pemberantasan total penyakit polio.

Bagaimana bisa? Di wilayah dengan cakupan vaksinasi yang rendah, virus yang dilemahkan dalam vaksin OPV dapat kembali beredar di komunitas.

Dalam jangka waktu lama, virus ini berpotensi bermutasi secara genetik dan kembali menjadi virus "kuat" yang menyebabkan kelumpuhan. Virus ini dikenal sebagai circulating vaccine-derived polioviruses (cVDPVs).

Untungnya, populasi dengan tingkat imunisasi memadai akan terlindungi dari virus polio liar maupun virus yang berasal dari vaksin. Imunisasi yang tinggi menciptakan "kekebalan kelompok" yang melindungi mereka yang tidak dapat divaksinasi karena alasan kesehatan tertentu.

Penulis:
Editor:Ade S

Baca Juga

Komentar

Kopiminfo

Liputan Informasi 9

Opsitek